Monday, January 30, 2017

Kehidupan Manusia Praaksara_Jaman Paleolithikum di Indonesia

Pada masa paleolithikum atau jaman batu tua berlangsung cukup lama. Jaman batu tua bercirikan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering). Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia hidup mengembara. Pengalaman yang diperoleh mendorong berkembangnya cara berpikir meskipun sangat lambat. Manusia mulai menggunakan alat sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan manusia yang masih terbatas nampak dalam pemanfaatan bahan yang disediakan oleh alam yaitu batu, kayu dan tulang. Tujuan utama pembuatan alat sekedar untuk mempermudah upaya memperoleh bahan makanan. 

Tradisi peralatan hidup pada jaman ini dikenal perkakas batu dengan tradisi kapak perimbas dan tradisi serpih. Adapun teknologi pembuatannya, berupa tradisi batu inti dan tradisi alat serpih. Tradisi batu inti dilakukan dengan cara pemangkasan pada segumpal batu atau kerakal untuk memperoleh asatu bentuk alat, misal kapak perimbas, kapak genggam. Sedangkan tradisi alat serpih berupa alat batu yang dibuat dari serpihan atau pecahan batu. Teknologi ini berkembang sejak pleistosen tengah. Sedangkan pada pleistosen akhir diketahui pembuatan alat dari tulang dan tanduk. Peralatan hidup yang dihasilkan dapat dibedakan atas :


1) kapak perimbas
Kapak perimbas merupakan kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Teknik pembuatannya masih kasar dan tidak mengalami perubahan dalam waktu yang panjang. Jika membandingkan dengan bukti di Cina (gua Chou Kou Tien) dapat disimpulkan bahwa kapak perimbas didukung oleh Pithecanthropus.

Movius mnyebutkan bahwa teknologi peralatan hidup “paleolithikum” di Asia Timur berbeda dengan corak yang berkembang di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan India. Teknik yang digunakan berupa monofasial yaitu pemangkasan alat batu dilakukan pada salah satu permukaan/ sisi saja. Budaya kapak perimbas tersebar di Pakistan, Myanmar, Thailand, Cina, Malaysia dan Indonesia (Pacitan). Budaya kompleks kapak perimbas ini merupakan budaya batu awal yang berlaku sejak masa pleistosen tengah.

Budaya kompleks kapak perimbas digolongkan Movius menjadi 4 jenis yaitu : kapak perimbas (chopper), kapak penetak (chopping – tool), pahat genggam (hand – axe) dan proto kapak genggam (proto hand axe). Teknik pembuatannya dengan memangkas secara langsung dan sederhana dari batu kerakal/ pecahan batu dengan saling membenturkan. Ciri umum kapak perimbas adalah tajam berbentuk cembung, diperoleh dengan memangkas salah satu pinggiran batu dan kulit batu masih melekat pada sebagian besar permukaan batu.

2) alat serpih
Alat serpih di Indonesia, pada umumnya merupakan unsur dominan dalam arti banyak ditemukan di berbagai tempat. Berdasarkan alat serpih yang ditemukan di Tabon dan Niah (Malaysia), alat serpih di Indonesia diperkirakan berasal dari masa akhir pleistosen tengah dan masa pleistosen akhir. Tempat penemuan meliputi Punung, Sangiran, Ngandong (Jawa), Cabbenge (Sulawesi), Mengeruda (Flores) dan Timor. Alat serpih berbentuk kerucut pukul dan dibuat dari bahan batuan kersikan dan batuan endapan.

Alat serpih  ditemukan dalam jumlah yang sangat dominan di daerah Baksoko, Gede, Sunglon, Sirikan di Punung. Bentuk alat serpih berupa serut, gurdi, penusuk dan pisau. Tradisi alat serpih ini menunjukkan tingkat lebih maju dibanding tradisi serupa di Asia Timur. 

Alat serpih di Sangiran terdapat pada semua lapisan pleistosen. De Terra, De Chardin dan Movius berpendapat bahwa alat serpih dari Sangiran berasal dari lapisan pleistosen atas yang berupa serut, gurdi, pisau dan alat penusuk. Alat serpih dibuat dari bahan kalsedon warna kuning dan jaspis merah. Peralatan sejenis di Ngandong diteliti oleh Dienst van den Mijnbouwn dan diperoleh alat dari tulang, tanduk dan serpih batu. Di Cabbenge, van Heekeren meneliti di desa Beru dan ditemukan peralatan serut, lancipan yang terbuat dari kalsedon kuning, jaspis merah dan batu kersikan. Sedangkan di Flores yaitu Matumenge, Mengeruda dan Olabula oleh Verhoeven ditemukan serpih bilah yang berujud serut, gurdi dan penusuk. Peralatan ini memiliki ciri mirip dengan alat serpih dari Sangiran. Di daerah Atambua, Ngoelbaki, Gassi Liu dan Sagadat (Timor) juga ditemukan alat serpih. 

3) alat tulang
Pembuatan alat dari bahan tulang dan tanduk pada pasa ini masih sangat terbatas. Hal ini nampak bahwa peralatan dari tulang hanya ditemukan di Ngandong dan Sidorejo pada lapisan pleistosen atas. Alat tulang ini dibuat dari tulang, tanduk menjangan dan duri ikan pari. Peralatan tersebut berupa mata tombak, sudip dan pisau. Tradisi alat dari tulang dikembangkan terus pada kala pleistoses akhir yaitu pada kehidupan di gua.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil budaya yang berkembang pada masa batu tua dibedakan :

a) Kebudayaan Pacitan
GHR. von Koenigswald, Movius, MHF. Tweedie, van Heekeren dan RP. Soejono mengadakan penelitian di daerah Punung (Pacitan) pada tahun 1935. Dalam penyelidikan ini, diperoleh kapak genggam dengan bentuk masih sangat kasar dan cara pembuatannya sederhana. Ciri yang lain kulit batu masih melekat terutama pada bagian pegangan. Bagian yang tajam biasanya bergerigi atau berliku-liku. Cara menggunakannya dengan digenggam dalam tangan. Alat dari Pacitan ini biasa disebut alat penetak atau chopper. Teknik pembuatan kapak genggam monofasial yaitu pemangkasan alat batu pada salah satu permukaan.

Kapak genggam ditemukan pada permukaan tanah, sehingga timbul masalah mengenai pendukung kebudayaan tersebut. Kita dapat melakukan perbandingan dengan bukti penemuan budaya di gua Chou Kou Tien, dijumpai fosil Sinanthropus Pekinensis beserta alatnya. Manusia Sinanthropus Pekinensis dapat dikatakan sejenis dengan Pithecanthropus Erectus. Begitu pula peralatan yang ditemukan juga serupa. Oleh karena itu dapat dikatakan pendukung kebudayaan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Diperkirakan oleh T. Jacob, bahwa pada masa ini telah terdapat komunikasi dengan kata sederhana maupun gerak tubuh. 

Bahan yang digunakan yaitu jenis batuan kapur, kersikan dan tufa. Di Indonesia  hasil budaya ini selain ditemukan di Pacitan, juga di Sukabumi, Gombong (Jawa), Jampangkulon, Parigi, Tambang Sawah (Bengkulu) yang diteliti JH. Houbalt. Di samping itu juga daerag Lahat, Kalianda (Sumatra Selatan), Awangbangkal (Kalimantan Timur), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Sembiran dan Trunyan (Bali), Wangka, Soa, Maumere dan Mangeruda (Flores), dan Atambua, Ngoelbaki (Timor). Namun demikian di Pacitan dijumpai hasil budaya paling banyak dan lengkap. Pada kebudayaan Pacitan ditemukan artefak berupa:

(1) kapak perimbas
Kapak perimbas tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara menggenggam. Penelitian di Punung (Pacitan) dilakukan  oleh von Koenigswald. Bahkan di Kali Baksoko ditemukan dua ribu alat berupa kapak perimbas. Selain di Pacitan, juga ditemukan di tempat lain di Indonesia serta beberapa daerah luar Indonesia. (Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, Thailand, Philipina dan Vietnam).

(2) kapak penetak
Kapak penetak memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas. Kapak penetak bentuknya lebih besar dan cara pembuatannya masih kasar bila dibanding kapak perimbas. Kapak penetak memiliki ciri tajamannya dibentuk liku-liku dengan cara penyerpihan yang dilakukan berselang-seling pada kedua sisi tajamannya. Kapak penetak berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bambu atau disesuaikan dengan kebutuhan. Jenis ini ditemukan hampir di seluruh Indonesia.

(3) pahat genggam
Pahat genggam berbentuk lebih kecil dari kapak genggam. Pahat genggam memiliki ciri tajamannya berbentuk terjal mulai dari permukaan atas batu sampai pinggirannya dan dibuat dengan cara penyerpihan. Alat ini digunakan untuk menggemburkan tanah dan mencari umbi-umbian yang dapat dimakan.

(4) kapak genggam awal
Kapak genggam memiliki bentuk hampir sama dengan kapak perimbas dan kapak penetak. Tetapi bentuknya lebih kecil. Jenis ini dibuat masih sangat sederhana dan belum diasah. Ciri kapak genggam awal adalah bentuk meruncing dan kulit batu masih melekat pada pangkal alat serta tajamannya dibentuk melalui pemangkasan pada satu permukaan batu. Cara pemakaiannya dengan digenggam pada ujungnya yang lebih kecil.

(5) alat serpih
Alat serpih memiliki bentuk sangat sederhana dengan ciri kerucut pukulnya menonjol dan dataran pukulnya lebar dan rata. Penemuan alat serpih di Indonesia menunjukkan beberapa variasi, dimana ada beberapa alat yang nampak dari teknik pembuatannya yang lebih maju. Berdasarkan bentuknya, alat serpih digunakan sebagai pisau, gurdi dan alat penusuk. 

b) Kebudayaan Ngandong
Penelitian di Ngandong dilakukan Dinas Purbakala Kolonial Belanda (Dienst van den Mijnbouw) dan mendapatkan beberapa peralatan hidup dari batu, tulang dan tanduk. Hasil budaya yang dijumpai berupa kapak genggam, alat penusuk/ belati dan ujung tombak yang bergerigi dari tulang. Alat tersebut berfungsi untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah.

Hasil budaya yang lain adalah alat kecil dari batu yang disebut flakes, dimana sebagian terbuat dari batu yang indah (chalsedon). Peralatan ini ditemukan di daerah Sangiran dan Cabbenge. Flakes ditemukan pada permukaan tanah di lapisan pleistosen atas. Dengan demikian dapat diperkirakan pendukung kebudayaan ini adalah Homo Soloensis dan Wajakensis.

Bukti peninggalan kesenian sangat sedikit. Di beberapa tempat ditemukan lukisan yaitu di guna Leang-Leang yang diteliti ny. Heeren Palm (1950) berupa gambar cap jari tangan dengan latar belakang warna merah. Sedangkan penelitian lebih lanjut di gua Leang-Leang yang dilakukan van Heekeren (1950) ditemukan gambar lukisan babi yang sedang melompat dengan panah di bagian jantung. Hal ini dapat ditafsirkan masyarakat berharap agar berhasil dalam berburu di hutan. Gambar tersebut diperkirakan berasal dari jaman akhir paleolithikum.

Peninggalan kepercayaan belum ada bukti yang nyata. Namun demikian dapat diperkirakan sudah ada tanda-tanda kepercayaan yang berkaitan dengan penguburan. Masalah mati merupakan salah satu faktor yang menjadi bahan pemikiran manusia. Mereka merasa ada satu tenaga yang tidak terduga yang menguasai kehidupan. Hal ini dapat dikatakan sebagai dasar-dasar kepercayaan yang akan nampak pada perkembangan berikutnya.

No comments:

Post a Comment