Sunday, January 29, 2017

Perkembangan Jaman Logam di Indonesia_Masa Praaksara

Budaya logam yang berkembang di Indonesia memunculkan masyarakat pertukangan. Sejalan dengan meningkatnya kemampuan melebur biji besi dan pembuatan alat dari logam, menimbulkan pembagian kerja. Pembagian kerja untuk melaksanakan berbagai kegiatan hidup yang makin ketat. Kehidupan desa makin berkembang, kehidupan meningkat dan pelayaran perdagangan lebih maju.

Kehidupan pada masa perundagian sangat penting artinya dalam perkembangan sejarah Indonesia. Pada masa tersebut terjalin hubungan dengan daerah di sekitar kepulauan Indonesia. Hubungan dilakukan karena bahan pembuatan alat hanya tersedia di daerah tertentu dan untuk memperolehnya dilakukan dengan sistem barter.

Adapun jenis manusia yang mendiami Indonesia pada jaman perundagian dapat diketahui dari penemuan kerangka manusia di Anyer Lor, Puger (Banyuwangi), Gilimanuk dan Melolo. Di daerah Anyer Lor menunjukkan manusia Austromelanesoid, Gilimanuk memperlihatkan manusia Austromelanesoid tetapi ciri manusia Mongoloid lebih nampak. Sedangkan di Melolo lebih menunjukkan unsur Mongoloid dengan tengkorak bundar dan muka datar. Dengan demikian di Melolo terjadi percampuran ras Austromelanesoid dan Mongoloid.


Perkampungan yang makin besar ditandai dengan populasi yang makin banyak. Kehidupan bercocok tanam dan perdagangan dilakukan masyarakat. Desa demikian membawa akibat timbulnya pencemaran lingkungan dan wabah penyakit. Proses pengolahan makanan makin bervariasi. Jenis makanan bermacam-macam dengan variasi percampuran zat putih telur dengan zat tepung berlainan. 

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya mereka tinggal di daerah pegunungan, dataran rendah dan tepi pantai dalam lingkungan tata kehidupan yang lebih teratur dan terpimpin. Perkembangan masyarakat dijumpai di daerah Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi, Sumbawa, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Umumnya mereka telah menempati rumah yang besar dengan bentuk atap melengkung dan dapat ditempati beberapa keluarga. Kegiatan berburu masih dilakukan terutama untuk menunjukkan keberanian dalam lingkungan masyarakat. Beternak dilakukan dengan hewan piaraan unggas, babi, kerbau, kuda dan anjing. Hewan ini berfungsi sebagai persediaan makanan sekaligus hewan untuk upacara. Pertanian menjadi pekerjaan pokok yang diwarnai suasana ritual. Perdagangan lebih maju dan dalam pelayaran, perahu bercadik memegang peran penting.

Pada masa ini, terdapat peningkatan dalam pemujaan nenek moyang yang dilengkapi dengan upacara. Pelaksanaan penguburan mengenal dua cara. Secara langsung, dimana mayat dikubur dengan diarahkan ke tempat roh nenek moyang. Hal ini dijumpai di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumbawa. Posisi mayat membujur atau terlipat. Sedangkan penguburan secara tidak langsung dilakukan, dimana mayat dikubur sebagai penguburan sementara, sambil menunggu persiapan untuk penguburan kedua. Penguburan dengan tempayan atau gerabah dapat ditemukan di Anyer, Gilimanuk, Selayar, Sumba dan Rote. Bekal kubur berupa periuk kecil, kendi, tempat pedupaan, pinggan, manik-manik atau perhiasan.

Jaman logam atau masa perundagian dimulai tidak seketika sejak berakhirnya jaman batu. Hal ini nampak bahwa pada jaman logam masih dijumpai alat dari batu. Sedangkan jaman logam pada masa sejarah awal di Indonesia tidak melalui jaman tembaga, melainkan langsung masuk jaman perunggu. Teknologi pada masa perundagian mengalami perkembangan pesat. Hal ini ditambah dengan kemampuan dalam pelayaran, penemuan baru, peleburan, percampuran, penempaan dan pencetakan jenis benda dari logam. Peralatan hidup dari batu mulai ditinggalkan sesuai dengan kemajuan teknologi. Fungsi praktis peralatan batu hilang dan tinggal fungsi sebagai alat upacara dan benda pusaka. Gerabah tetap berfungsi sebagai peralatan hidup sehari-hari disamping sebagai alat upacara atau bekal kubur. Perhiasan masyarakat beraneka ragam, misal gelang, cincin, kalung dari perunggu. Sedangkan benda lain dibuat dari bahan tulang, kerang, batu indah dan kaca. Proses pembuatannya dengan melebur, mencetak dan membentuk benda yang dikehendaki.
Adapun teknik pembuatan alat dari logam meliputi a cire perdue dan bivalve. 
1. Teknik a cire perdue 
Teknik a cire perdue merupakan cara pembuatan peralatan hidup dari bahan perunggu dengan  menggunakan model lilin yang bercampur dengan tanah liat menjadi benda yang akan dibuat lebih dahulu. Pola lilin ini dilapisi dengan tanah liat dan diberi lubang pada bagian bawah. Cairan perunggu dituangkan lewat lubang pada bagian atas, sehingga lilin meleleh dan keluar dari lubang bagian bawah. Setelah dingin, yang tertinggal adalah benda yang telah jadi. Dengan demikian teknik ini memiliki ciri hanya sekali pakai. Jika ingin membuat barang yang sama, maka perlu disiapkan benda tiruan dari lilin lagi.

2. Teknik bivalve 
Teknik bivalve merupakan cara pembuatan peralatan hidup dari bahan perunggu yang berbeda dengan teknik a cire perdue. Dalam hal ini dilakukan dengan menggunakan dua cetakan (umumnya dari batu) yang ditangkupkan. Pada cetakan yang ditangkupkan, diberi lubang di bagian atas dan bawah. Hal ini dilakukan agar dapat diberi cairan perunggu panas. Setelah dituangkan cairan perunggu, perlu ditunggu agar mengering dan dingin. Kemudian dua cetakan tangkupan tersebut, diangkat dan diperoleh hasil peralatan hidup yang diinginkan. Dengan demikian teknik ini memiliki ciri khas dapat dilakukan beberapa kali.

Adapun benda peninggalan jaman logam meliputi :
1. Nekara
Nekara pertama kali dikemukakan oleh GE. Romphius yang menguraikan nekara Pejeng (Bali). Sedangkan AB. Meyer menyebutkan beberapa nekara di Jawa, Selayar, Luang, Roti dan Leti. Meyer menyatakan bahwa budaya nekara berpusat di Khmer yang selanjutnya menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. 

Nekara berbentuk seperti berumbung (dandang/ bhs. Jawa) yang berpinggang di bagian tengah dan sisi atasnya tertutup. Alat ini berfungsi untuk genderang perang, upacara/ bekal kubur, upacara memanggil hujan dan upacara adat. Nekara yang berbentuk ramping disebut moko yang digunakan untuk mas kawin/ mahar. Daerah penemuan nekara adalah Jawa, Selayar, Luang, Rote, Leti, Bali, Alor dan Irian. Di Bali terdapat nekara Pejeng yang berukuran tinggi 1,86 meter dan garis tengah 1,60 meter. Nekara ini dianggap sangat suci dan dipuja penduduk setempat.

Pada nekara terdapat hiasan gambar misal garis lurus dan bengkok, pilin-pilin dan gambar geometri lainnya. Di samping itu juga gambar binatang (burung, gajah, merak, kuda, rusa), rumah, perahu dan pemandangan (lukisan orang berburu, tarian upacara). Nekara di Sangean terdapat gambar orang menunggang kuda dengan dua pengiringnya. Nekara dari Selayar dan kepulauan Kei dijumpai hiasan gambar gajah, merak, harimau. Nekara yang ada di Indonesia tidak semuanya buatan luar, namun ada yang dibuat di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari penemuan cetakan batu untuk membuat nekara di daerah Manuaba (Bali). 

Nekara ada yang bergambar perahu, orang dan tumbuhan yang mengingatkan upacara mengantar jenasah ke alam baka. Disamping itu ada nekara yang bergambar manusia berhiaskan bulu burung dan membawa senjata. Kebiasaan tersebut masih nampak jelas pada suku bangsa Dayak di Kalimantan. Ditinjau dari corak hiasan, nekara yang ditemukan di Indonesia terdapat 2 tipe yaitu :

a. Tipe Pejeng
Nekara ini ditemukan di Pejeng, Bali yang merupakan bentuk asli Indonesia. Adapun ciri nekara tipe ini adalah :
1) bagian atas terdiri atas bidang pukul yang berpolakan bintang bersudut delapan, hiasan bulu burung merak dan diberi pita pada bagian pukulnya.
2) bagian bahu terdapat garis hias yang horizon berupa garis-garis lurus dan terdapat bagian pegangan
3) bagian tengah/ pinggang diberi hiasan dengan pola tumpal.
4) bagian bawah/ kaki dapat dijumpai hiasan seperti binatang dan tumbuhan.

b. Tipe Heger
Nekara tipe Heger dipengaruhi pola dari daerah asalnya yaitu kebudayaan Dongson (Vietnam). Adapun cirinya sebagai berikut :
1) bagian atas berupa bidang pukul yang berhiaskan sudut 8, 10, 12, 14 atau 16 dan diantara sudut tersebut diberi hiasan tumpal atau hiasan bulu burung merak.
2) bagian bahu terdapat hiasan perahu dan binatang.
3) bagian pinggang/ tengah terdapat hiasan dengan pola hias vertikal dengan gambar bulu burung.
4) bagian kaki diberi hiasan binatang besar, seperti gajah dan kuda.

Nekara yang berbentuk ramping dapat dicontohkan moko Selayar yang berasal dari Indonesia Timur. Hal ini dikemukakan JM. De Groot. Istilah moko dapat dijumpai di beberapa daerah dengan nama yang berbeda: mako (Alor), kendang perunggu (Patar), gendang gelang atau tambur (Flores), tamra atau tambra (Jawa), moko malai (Rote) dan tifa guntur (Maluku). Pola hias pada moko dapat digolongkan menjadi : pola prasejarah, pola Indonesia Hindu, pola Belanda Inggris dan pola baru.

2. Kapak perunggu
Kapak perunggu sering disebut juga kapak corong atau kapak sepatu. Kapak perunggu berupa kapak yang bagian atasnya seperti corong untuk memasukkan tangkai kayu yang menyiku pada bidang kapak. Kapak perunggu memiliki 2 ukuran; kapak yang panjang disebut candrasa yang berfungsi sebagai lambang kebesaran. Sedangkan ukuran pendek disebut tugal dengan fungsi sebagai peralatan hidup sehari-hari. Daerah penemuannya  yaitu Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Selayar dan Irian. Candrasa yang ditemukan di Jogjakarta, memiliki ciri khas dimana di dekat tangkainya terdapat lukisan seekor burung yang terbang memegang sebuah candra yang tangkainya sangat pendek.

Rumphius mengadakan penelitian tentang kapak perunggu pada abad 18. secara tipologis, kapak perunggu dibagi atas kapak corong dan kapak upacara. Heekeren membagi atas kapak corong, kapak upacara dan tembilang. Sedangkan RP. Soejono membagi menjadi 8 tipe : tipe dasar, tipe ekor burung seriti, tipe pahat, tipe tembilang, tipe bulan sabit, tipe jantung, tipe candrasa dan tipe kapak Roti.

3. Bejana perunggu
Bejana perunggu merupakan alat yang berbentuk bulat panjang dan dibuat dari 2 lempengan perunggu yang cembung dilekatkan masing-masing sisinya. Daerah penemuannya Madura dan Kerinci / Sumatra. Hiasan pada bejana perunggu berupa ukiran yang indah yaitu gambar geometri dan pilin-pilin mirip huruf “j”. Pada bejana di Madura nampak gambar merak dan rusa dalam kotak segitiga. Alat ini berfungsi sebagai perisai perang dan alat upacara. 

4. Patung perunggu
Patung perunggu biasanya dibuat untuk melambangkan nenek moyang. Patung perunggu dapat dijumpai dalam berbagai bentuk yang dapat ditemukan di daerah Riau dan Bogor. Patung perunggu yang berbentuk manusia diantaranya sebagai penari, bergaya dinamis, ada yang berpakaian dan ada yang tidak berpakaian. Sedangkan patung berupa hewan dapat ditemukan di Bogor dalam bentuk lembu berbaring.

5. Benda perhiasan
Benda yang terbuat dari logam diantaranya cincin, gelang, kalung, senjata dan manik-manik sebagai bekal kubur. Cincin dan gelang perunggu sebagian besar tidak terdapat hiasan. Bentuknya yang kecil dimungkinkan digunakans ebagai alat tukar atau pusaka. Cincin dalam bentuk kepala kambing jantan ditemukan di Kedu (Jawa Tengah). 

Senjata dan benda perunggu dapat dijumpai dalam bentuk ujung tombak, belati, mata pancing, bandul kalung, ikat pinggang, penutup lengan, silinder kecil yang merupakan bagian dari kalung dan gelindingan perunggu.

6. Benda dari besi
Penemuan benda dari besi sangat terbatas jumlahnya. Benda ini berfungsi sebagai bekal kubur yang dapat ditemukan di daerah Wonosari dan Besuki. Selain itu juga sebagai senjata dan alat kehidupan sehari-hari. Bentuknya berupa mata kapak, alat bermata panjang dan pipih, mata pisau, mata sabit, mata tembilang, mata alat penyiang, mata pedang, mata tombak, gelang-gelang besi dan tongkat berkepala orang.

7. Gerabah
Pada jaman logam, gerabah mengalami perkembangan pesat. Pembuatan alat dari logam hanya menggeser alat dari batu. Sedangkan gerabah tetap memiliki peran tersendiri. Gerabah memiliki nilai praktis dan nilai ritual. Tempat peninggalan gerabah dijumpai di daerah Buni (Jawa Barat), Gilimanuk (Bali) dan Kalumpang (Sulawesi). Secara umum, gerabah berfungsi sebagai peralatan hidup sehari-hari yaitu untuk tempat air, alat memasak makanan, tempat menyimpan makanan dan sebagainya.

Tradisi gerabah di Indonesia dipengaruhi kebudayaan gerabah Sa Huynh (Vietnam) dan Kalanay (Philipina).  Selain itu juga dipengaruhi tradisi Bau Melayu. Kedua kebudayaan menggunakan teknik tatap batu. Hanya tradisi Sa Huynh – Kalanay, teknik tatap tersebut dibalut dengan tali. Dengan demikian hiasan gerabah berpola bola tali. Sedangkan tradisi gerabah Bau Melayu tatap batu diukir dengan pola hiasan.

Tradisi Sa Huynh – Kalanay mengenal persiapan, sehingga hiasannya beraneka ragam yaitu pola hias tali, pola hias keranjang, pola hias geometrik dan mengoleskan warna merah dan putih. Tradisi Bau Melayu tidak kaya pola hias. Perkembangan tradisi gerabah Sa Huynh – Kalanay sekitar 750 – 200 SM. Sedangkan tradisi gerabah Bau melayu khususnya di Indonesia sekitar tahun 1000 SM.

Kompleks gerabah Buni diselidiki RP. Soejono tahun 1961. Alat-alat gerabah yang didapatkan berupa periuk, cawan berkaki, kendi, bandul dan tempayan. Kompleks ini dipengaruhi tradisi Sa Huynh – Kalanay. Hal ini nampak dari olesan warna merah dan lebih halus. Pengauh Bau Melayu tampak dari hiasan dengan menggunakan tatap ukir. Sedangkan hiasan lingkaran memusat dengan variasinya menunjukkan kreasi lokal.

Tradisi gerabah Gilimanuk (Bali) diteliti oleh RP. Soejono tahun 1963, 1964 dan 1973. dari kompleks tersebut ditemukan benda hadiah kubur, alat perunggu dan besi, manik-manik, perhiasan dari emas, jenis pedupaan dan sebagainya. Menurut RP. Soejono, kompleks Gilimanuk dipengaruhi tradisi gerabah Sa Huynh – Kalanay. 

Van Stein Callenfels dan Heekeren mengadakan penelitian di Kalumpang. Dikatakan bahwa 95 % budaya gerabah Kalumpang berasal dari jaman bercocok tanam, sedangkan sisanya berasal dari jaman perundagian. Pola gerabah dari masa perundagian menggunakan pola hias geometrik yaitu tumpul, pilin dan lingkaran kecil. RP. Soejono dan DJ. Mulvaney mengadakan penelitian lebih lanjut dan ternyata tradisi gerabah Kalumpang meluas sampai daerah Maros, Batu eJaya dan Takalar (Makasar). Disamping itu tradisi gerabah juga dapat dijumpai di daerah Melolo (Sumbawa) dan Leuwiliang (Bogor).

8. Manik-manik
Manik-manik merupakan hasil budaya yang dapat dijumpai sejak dahulu hingga sekarang. Adapun ukuran manik-manik beragam yaitu : bulat, silinder, bulat panjang, berpaset-paset dan sebagainya. Warna manik-manik adalah biru, merah, kuning, hijau atau kombinasi warna tersebut. Bahan pembuatan manik-manik menggunakan batu akik, tanah liat dan kaca. Tempat penemuan manik-manik di daerah Gilimanuk, Jawa Barat bagian utara dan Sulawesi.

Sumber :
R. Soekmono. 1986. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilis 1. Jogjakarta : Kanisius

No comments:

Post a Comment