Sunday, January 29, 2017

Kebudayaan Neolithikum di Indonesia_Masa Praaksara

Setelah berkembang budaya mesolithikum, sekitar tahun 4000 SM berlangsung penyebaran bangsa yang membawa kebudayaan neolithikum. Pangkal penyebaran kebudayaan ini dari daerah Yunan (Asia daratan), melalui 2 jalur : jurusan Barat melalui Malaya – Sumatra – Jawa – Nusa Tenggara – Sulawesi. Alat yang dikembangkan adalah kapak yang berbentuk persegi dan sudah dihaluskan. Oleh karena itu ciri kebudayaan ini disebut kebudayaan kapak persegi. Sedangkan jurusan Utara melalui Jepang – Philipina – Sulawesi dan Irian. Bentuk alat budaya berupa kapak lonjong yang sudah dihaluskan, sehingga kebudayaan ini dinamakan kebudayaan kapak lonjong. Baik penyebaran jalan Barat maupun Utara, merupakan pangkal nenek moyang bangsa Indonesia (lihat Soekmono.1986. Pengantar Sejarah Kebudayaan Jilid 1). Dengan demikian kebudayaan neolithikum merupakan kebudayaan yang tersebar di  seluruh kepulauan Indonesia. 

Tingkat budaya masyarakat yang makin tinggi nampak dari berkembangnya masa bercocok tanam yang ditandai kemampuan mengupam dan pembuatan gerabah. Peralatan hidup yang dihasilkan berupa beliung, kapak bahu, mata panah dan mata tombak. Selain itu juga alat obsidian dan mata panah sebagai alat berburu dan alat pemukul kulit kayu. Adapun kebudayaan neolithikum meliputi :


1) Kapak persegi

Kapak persegi atau beliung persegi berbentuk memanjang dengan penampang melintang persegi. Seluruh bagian kapak persegi diupam, kecuali bagian tangkai. Cara membuat bagian yang tajam dengan mengasah bagian samping untuk memperoleh tajaman miring seperti tajaman pahat sekarang ini. Van Stein Callenfels dan von Heine Geldern mengadakan penelitian dan menamakan kapak persegi panjang. Bahan pembuatan kapaka persegi adalah batu chalsedon, agat, chert, jaspis dan sebagainya. Dilihat dari ukurannya, kapak persegi dibedakan atas beliung (ukuran besar) dan tarah (ukuran kecil). Adapun fungsi kapak persegi adalah untuk mengerjakan kayu, upacara ritual, alat kebutuhan sehari-hari. Daerah penemuan kapak persegi di Indonesia meliputi : Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Maluku dan Sangir Talaud. Sedangkan di negara lain ditemukan di Malaysia, Thailand, Cina, Jepang dan Philipina. Bahan pembuatan kapak persegi adalah batu api dan batu khalsedon. Pusat pembuatan kapak persegi dapat dijumpai di Lahat, Bogor, Sukabumi, Krawang dan Tasikmalaya, Pacitan serta lereng gunung Ijen (Jawa Timur).

Sejenis dengan kapak persegi, juga ditemukan kapak bahu. Bentuk kapak bahu hampir sama, hanya pada bagian yang diikat pada tangkainya terdapat semacam “leher”. Dengan demikian menyerupai bentuk botol persegi. Di Indonesia, kapak bahu hanya ditemukan di daerah Minahasa. Sedangkan daerah lain adalah Jepang, Formosa, Philipina, semenanjung Malaya hingga India. Tempat pembuatan kapak persegi adalah Bungamas (Palembang), Karangnunggal (Tasikmalaya), Pasir Kuda (Bogor), Karangbolong (Kedu) dan Punung (Pacitan).

2) Kapak lonjong
Kebudayaan kapak lonjong sering disebut kapak neolithikum Papua, karena alat ini sebagian besar ditemukan di Papua. Kapak lonjong berbentuk bagian pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajam. Kapak lonjong memiliki ciri khas yaitu tajaman berupa simetris atau dua sisi dan bahan yang digunakan untui membuat kapak lonjong kebanyakan dari batu kali. Pada umumnya kapak persegi dibuat dari batu kali berwarna kehitam-hitaman. Alat ini memiliki ukuran yang berlainan. Ukuran besar disebut Walzenbeil, sedangkan ukuran kecil dinamakan Kleinbeil. Kleinbeil ditemukan di daerah antara daerah kapak persegi dengan daerah Walzenbeil, yaitu kepulauan Tanimbar, Seram dan sekitarnya. Kapak lonjong digunakan untuk alat kebutuhan sehari-hari dan alat upacara. Daerah penemuannya meliputi : Sulawesi, Sangir Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar dan Irian. Khusus di Papua tradisi pembuatan alat ini masih dijumpai pada suku di pedalaman.

Kapak lonjong lebih tua dibanding kapak beliung. Berdasarkan penelitian di gua Niak (Serawak) diperkirakan sudah berumur 8.000 tahun yang lalu. Bentuk yang kecil diperkirakan sebagai benda pusaka yang memiliki nilai magis. Alat ini ditemukan di daerah Sulawesi, Sangihe, Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar dan Irian. Pendukung kebudayaan ini diperkirakan manusia yang telah mengenal pembuatan gerabah dan teknik pilin serta hidup dari ubi-ubian terutama keladi. Mereka juga menjinakkan hewan : babi, anjing dan unggas.

3) Alat obsidian
Alat yang khusus dibuat dari batu kecubung (obsidian) berkembang sangat terbatas. Daerah penemuannya meliputi: bekas danau Bandung, bekas danau Cangkuang/ Leles (Jawa), danau Gadang, danau Kerinci, Jambi, Palembang dan Lampung (Sumatra) serta Flores Barat. Ditinjau dari bentuk alat yanag sudah diupam dan selalu ditemukan bersama gerabah, maka dapat dipastikan alat obsidian berasal dari masa bercocok tanam. 

4) Gerabah
Gerabah atau tembikar sudah dikenal pada masa bercocok tanam. Bentuk gerabah ada yang seperti periuk kebulat-bulatan dengan bagian pinggir melipat keluar. Disamping itu juga ada yang berbentuk cawan dan pedupaan. Gerabah dibuat sekelompok petani yang selalu terikat dalam hubungan sosial ekonomi dan kegiatan ritual / keagamaan. Gerabah semula ditemukan pada bagian atas Kjökkenmöddinger di Sumatra yang berupa pecahan gerabah, sehingga tidak diketahui bentuk secara utuh. Gerabah memiliki fungsi untuk keperluan sehari-hari dan untuk penguburan (bukti pada tembikar di Melolo/ Sumba). Daerah penemuannya di Banyuwangi, Bogor, Tangerang, Sumbawa dan Sulawesi Selatan. Gerabah dibuat dengan dihiasi gambar seperti cap berupa tali, anyaman bambu, kerang. Dari berbagai bentuk hiasan dapat memberikan petunjuk mengenai keadaan dan kehidupan masyarakat yang menghasilkannya.

Adapun teknik pembuatan gerabah dapat dilihat di Tangeran dan bekas danau Bandung yang berupa penggabungan teknik tatap buku dengan teknik tangan pada tingkat permulaan dan kemudian berkembang pemakaian roda pemutar yang sederhana.

Di Sulawesi Tengah ditemukan gerabah yang pembuatannya pada masa bercocok tanam. Hal ini didasarkan bukti bahwa gerabah ditemukan bersama dengan beliung dan kapak yang sudah diupam. Van Heekeren membedakan gerabah Kalumpang menjadi dua periode. Gerabah yang polos dan dengan hiasan goresan pola garis pendek sejajar dan lingkaran berasal dair masa bercocok tanam. Periode kedua ditandai dengan gerabah dengan hiasan pola geometris berasal dari masa perundagian.

5) Perhiasan
Sejak awal manusia telah menyukai perhiasan. Perhiasan dibuat dari bahan yang ada di sekitarnya. Orang di tepi pantai menggunakan bahan dari kulit kerang. Sedangkan yang tinggal di pedalaman menggunakan bahan dari jenis batuan indah atau tanah liat yang dibakar (Terracotta). Di pedalaman pada umumnya menggunakan bahan dari batu indah seperti kalsedon, yasper dan agat. Di Jawa ditemukan gelang dari batu indah (khalsedon) dalam jumlah banyak dan perhiasan berupa kalung.

6) Mata panah
Alat penting yang digunakan dalam berburu binatang pada masa bercocok tanam adalah tombak, busur dan anak panah. Panah digunakan untuk memanah ikan yang biasanya terbuat dari tulang dengan bentuk bergerigi. Sedangkan anak panah yang digunakan untuk berburu binatang dibuat dari batu. Untuk menentukan kapan penggunaan alat tersebut, peneliti masih kesulitan. Hal ini disebabkan jumlah temuan yang sangat sedikit dan ditemukan di dalam gua yang ada di pinggir pantai atau sungai.

Mata panah dapat ditemukan di daerah Sampung, Tuban, Besuki, Bojonegoro dan Punung (Jawa Timur). Sedangkan di Sulawesi Selatan dijumpai di daerah pegunungan kapur Maros. Di daerah Maros, mata panah ditemukan pada lapisan atas bersama dengan gerabah, alat serpih dan alat dari kerang. Mata panah merupakan unsur dominan dari budaya Toala, sehingga van Heekeren menamakan Lancipan Maros.

Alat serupa juga ditemukan di Jepang dan Manchuria, sehingga Callenfels, van Heekeren dan von Heine Geldern menyimpulkan mata panah merupakan pengaruh dari luar.

Teknik pembuatan mata panah berbentuk segitiga dengan bagian dasar bersayap dan cekung. Seluruh permukaan dikerjakan dengan teliti. Bagian ujung dan tajamnya ditarah dari dua arah, sehingga menghasilkan bagian tajaman yang bergerigi dan tajam. Sebagai bengkelnya dijumpai di Punung (Jawa Timur).
    
7) alat pemukul kulit kayu
Alat ini ditemukan di Kalimantan bagian tenggara dan Sulawesi Tengah. Alat pemukul berbentuk persegi panjang dan terdiri dari bagian pegangan dan bagian pemukul. Sampai sekarang alat pemukul ini masuih digunakan di Sulawesi. Fungsi alat pemukul adalah untuk menyiapkan pakaian dengan jalan memukul kulit kayu.

Sumber :
R. Soekmono. 1986. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Jogjakarta L Kanisius

No comments:

Post a Comment