Wednesday, December 25, 2013

Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang besar pada masa lampau di Indonesia. Sebagai bangsa yang besar, perlu kiranya kita memahami perkembangan masyarakat pada masa lalu, dalam hal ini perkembangan masyarakat kerajaan Sriwijaya.
Adapun sumber kesejarahan Sriwijaya dapat diketahui dari sumber utama berupa prasasti :
Kerajaan Sriwijaya terletak di Palembang. Dalam kurun abad VI – VII Masehi, di Sumatra terdapat tiga kerajaan kecil yaitu Sriwijaya, Melayu dan Tulangbawang. Namun demikian kerajaan yang lebih berpengaruh pada masa berikutnya ialah Sriwijaya. Hal ini dapat dilihat dari berita I Tsing yang menyatakan sekitar abad VII M, Melayu menjadi Sriwijaya. Dalam pengertian Melayu telah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia. Namun demikian tentang letak pusat kerajaan, diantara sejarawan berbeda pendapat. Sumber sejarah Sriwijaya yang berupa prasasti dan berita asing, yaitu:

a. Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti ini ditemukan di Kedukan Bukit (Palembang) berangka tahun 605 ç (683 M) dan ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno (bandingkan dengan prasasti sejaman dari kerajaan lain). Dalam prasasti ini dimuat tentang perjalanan suci (Sidhayatra) Dapunta Hyang yang disertai ribuan tentara dan perbekalan lengkap. Hal ini dapat diperkirakan sebagai usaha penaklukan daerah. Adanya istilah marwuat wanua (membuat kota) dalam prasasti tersebut oleh sebagian ahli dijadikan dasar letak Sriwijaya di Palembang.

b. Prasasti Talang Tuo (684 M)
Prasasti ini ditemukan di sebelah barat Palembang yang berisi tentang Dapunta Hyang Sri Jayanaga membuat Sri Ksetra (taman suci). Hal ini diperkirakan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan ekspedisi, dimana taman tersebut untuk kemakmuran semua makhluk. Dengan demikian dapat dikaitkan dengan isi prasasti sebelumnya.

c. Prasasti Kota Kapur (tanpa tahun)
Prasasti ini ditemukan di Kota Kapur (Bangka) yang memuat raja Sriwijaya mengeluarkan kutukan kepada rakyat yang tidak tunduk kepada Sriwijaya dan usaha menaklukkan bhumijawa yang tidak tunduk. Bhumijawa sering diartikan wilayah Jawa (bagian barat). Prasasti ini disusun guna menjaga kekuasaan raja dan berupaya menaklukkan musuh yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Bandingkan prasasti sejenis dari kerajaan Tarumanegara.

d. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ada 2 uraian yaitu Ligor A berisi pujian kepada leluhur Sriwijaya dan pendirian Budha Çakyamuni, Awalokiteçwara dan Wajrapani. Di sebaliknya terdapat Ligor B yang memuat: sebutan Syailendravamsaprabumigadata yang digelar pembunuh musuh yang gagah berani disebut adalah (Wisnu). Dalam prasasti Ligor terdapat sebutan Syailendra yang sering diidentikkan dengan keturunan Syailendra di kerajaan Mataram Jawa Tengah.

e. Prasasti lain
Prasasti yang isinya hampir sama dengan prasasti Kota Kapur yaitu prasasti Karang Berahi, Palas Pasemah, Bawang dan Telaga Batu yang semuanya tanpa angka tahun. Khusus prasasti Telaga Batu juga berisi urutan putra mahkota (Yuwaraja, Pratiyuwaraja dan Rajakumara), jabatan tinggi negara (nayaka, pratyaya dan dandanayaka). Dari prasasti Telaga Batu dapat diketahui mengenai susunan birokrasi kerajaan dan susunan calon raja yang berkuasa.

Peringatan Hari Guru Nasional


Hari Guru yang diperingati setiap tahun pada tanggal 25 November mempunyai dua makna. Pertama merupakan pengakuan terhadap profesionalisme guru. Kedua merupakan refleksi terhadap apa yang telah dicapai oleh organisasi guru dan individu guru dalam menjalankan tugasnya, sekaligus merupakan “antisipasi” terhadap langkah yang harus diambil bagi guru dan organisasi guru untuk menegaskan prefisionalisme guru ke depan.

Dalam perspektif pedagogis guru merupakan suatu konsep yang menggambarkan sosok pribadi mulia yang menjalankan peran mengajar. Dalam tulisan ini mengajar mempunyai dua arti yaitu transferring dan transforming. Mengajar dalam arti transferring yaitu “memindahkan” informasi yang disebut ilmu pengetahuan kepada para siswa yang diajarnya, sedangkan mengajar dalam arti transforming yaitu menamkan nilai budaya positif kepada para siswa yang diajarnya. Dalam menjalankan peran kedua, guru tidak hanya mengajarkan tetapi sekaligus menjadi suri tauladan bagi siswanya. Kedua peran ini diekspresikan secara puitik dalam lirik Hymne Guru sebagai berikut:
     “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
      Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”

Tentunya saja kita tidak bisa, atau bahkan tidak berhak,  menilai bahwa peran transfering lebih penting daripada peran transforming, atau sebaliknya peran transforming lebih penting daripada peran trasnfering. Keduanya mempunyai peran yang setara karena membentuk keseimbangan antara kompetensi nalar dan kompetensi kepribadian bagi para siswa. Keduanya terangkum dalam hasil pendidikan yang sekarang ini menjadi topik pembicaraan yaitu siswa berkarakter.

Dalam konotasi guru seperti yang diketengahkan di atas, maka sosok guru tidak hanya berarti figur yang berdiri di depan ruang kelas dalam suatau lembaga yang disebut dengan sekolah, tetapi juga mereka yang melakukan fungsi mengajar meskipun tidak berada di dalam gedung sekolah. Mereka adalah tutor yang bertugas mengajar anak-anak yang terdaftar pada Kelompok Belajar (Kejar) Paket A dan B. Mereka yang mengajar anak-anak jalanan juga berhak mendapat predikat sebagai guru meskipun mereka melaksanakan tugas mengajarnya di bawah kolong jembatan. Predikat guru juga berhak disandang oleh mereka yang mengajar anak-anak dengan berkebutuhan khusus. 

Perbedaan konteks tempat mengajar tidak membedakan predikat mereka sebagai guru. Hal ini lain menjadikan mereka sama-sama berhak menyandang predikat sebagai guru karena dua faktor yaitu dedikasi dan profesionalisme. Dedikasi tidak hanya diukur dengan waktu yang dicurahkan untuk mengajar, tetapi pada kesetiaan mereka untuk melakukan peran mengajar.

Profesionalisme secara epistimologis berarti melakukan pekerjaan sesuai dengan kriteria professi. Profesionalisme guru adalah kompentensi untuk melakukan tugas mengajar secara efektif. Dalam melakukan tugasnya guru tidak boleh membedakan siswa berdasarkan agama, suku bangsa, dan latar belakang ekonomi orangtua. Namun demikian membedakan berdasarkan minat dan bakat siswa merupakan keniscayaan bagi seorang guru untuk melakukan tugas mengajarnya. Membedakan berdasarkan  minat dan bakat tidak dianggap sebagai tindakan diskrimantif.

POS UN SMP/ SMA/ MA/ SMK Tahun 2014


Menjelang akhir tahun 2013, pemerintah (dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan RI) telah mengeluarkan payung hukum berupa Permendikbud yang berkaitan dengan pelaksanaan Ujian Nasional untuk setiap jenjang pendidikan pada tahun 2014.

Oleh karena itu, pena guru berusaha ikut membantu peserta didik dan pihak terkait dengan mengunggah peraturan yang berkaitan dengan Ujian Nasional dimaksud.

Permendikbud 97 Tahun 2013 ttg Kriteria Kelulusan Peserta Didik Tahun 2014
POS Ujian Nasional Tahun 2014

Demikian, semoga bermanfaat bagi peserta didik sekalian. Salam pendidikan Indonesia.