Friday, September 19, 2014

Kebudayaan Megalithikum di Indonesia


Kebudayaan megalithikum didasarkan pada kepercayaan bahwa yang mati tetap ada hubungan dengan yang ditinggalkan. Masyarakat percaya bahwa yang mati akan memberikan kesejahteraan dan kesuburan tanaman. Bangunan batu besar sebagai sarana untuk menghormati mereka yang telah mati. Banguna batu besar tidak dikerjakan secarea halus, melainkan hanya diratakan secara kasar untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan. Daerah penemuannya meliputi Nias, Sumatra, Jawa, Sumbawa, Flores, dan Toraja. Hingga kini kebudayaan megalithikum masih berkembang, misal di pulau Nias, Sumba dan Flores. Adapun kebudayaan batu besar dibedakan atas :



1) menhir
Menhir berbentuk tiang / tugu batu yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Bangunan ini sering tunggal dan kadang dikelompokkan dalam formasi temugelang, segi empat, bujur sangkar. Disamping itu juga ditemukan bersama dengan dolmen, kubur batu, misal di Pasemah (Sumatra). Daerah penemuan menhir di Sumatra, Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Menhir di Belubus, Limapuluh Koto, berbentuk gagang pedang dengan tinggi 125 cm sebagai tanda kubur. Bagian lengkung menghadap ke arah gunung Sago. Di bagian bawah terdapat hiasan garis lurus yang dipahatkan melingkar di sekeliling kaki menhir.

2) dolmen
Dolmen berbentuk meja batu berkaki menhir dengan fungsi sebagai tempat sesaji dan pemujaan nenek moyang serta makam. Di bagian bawah domlen sering ditemukan kubur batu. Selain itu kadang juga dijumpai manik-manik dan gerabah, misal domlen di Telagamukmin (Lampung Barat).

3) sarkofagus
Sarkofagus atau keranda merupakan bangunan yang berbentuk seperti palung / lesung tetapi memiliki tutup di atasnya dan berfungsi sebagai makam. Bangunan ini dijumpai di Nias. Bangunan sarkofagus banyak ditemukan di Bali yang masih dianggap keramat atau memiliki kekuatan magis sampai sekarang.

4) kubur batu
Kubur batu berbentuk persegi dengan keempat sisinya berdinding papan batu, juga pada bidang alas dan bidang atas. Kubur batu berfungsi sebagai makam. Bangunan kubur batu berbeda dengan sarkofagus. Kubur batu merupakan peti yang dindingnya lepas satu sama lainnya. Sedangkan sarkofagus berupa satu batu besar yang dicekungkan bagian atasnya seperti lesung. Kubur batu banyak ditemukan di daerah Kuningan (Jawa Barat), Tegurwangi, Ujanmas dan Tanjungara (Sumatra Selatan).

5) punden berundak
Punden berundak merupakan bangunan pemujaan dan tersusun secara bertingkat. Kubur batu satu atau lebih disusun di atas bangunan berundak. Undakan tanah disusun dengan meratakan sedang tebingnya diperkuat dengan batu kali. Bangunan ini dapat dijumpai di Mingkik, Karangdalam dan Kebonagung (Sumatra Selatan). Di tempat lain adalah banyak ditemukan di Lebak Sibedug (Banten Selatan).

6) waruga
Waruga merupakan kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat. Waruga dibuat dari satu batu utuh dan hanya dijumpai di daerah Sulawesi Tengah dan Utara. Bangunan waruga kadang diberi hiasan, misal waruga di Sawangan (Sulawesi Utara) berupa tiga buah muka manusia dan pola hias sulur yang distilirkan.

7) arca / patung
Arca atau patung dibuat untuk melambangkan nenek moyang. Biasanya nenek moyang digambarkan dengan hewan gajah, kerbau, harimau, kera dan sebagainya. Tempat penemuan arca di daerah Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut Geldern, gaya patung di Sumatra Selatan dinamis dan statis. Ciri ini ditemukan di daerah Lahat, Karangindah, Tinggihari, Tanjungsirih, Padang, Pagaralam, Tebatsibentur, Pematang, Tanjungberingin, Tebing Tinggi, Batu Gajah dan sebagainya.

Kebudayaan megalithikum banyak dijumpai di seluruh Indonesia, namun sebagai peninggalan sejarah awal yang sudah diteliti di daerah Sumatra dan Jawa. Di Sumatra ditemukan di dataran tinggi Pasemah berupa kumpulan arca, menhir, dolmen dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh van der Hoop dan von Heine Geldern menunjukkan arti penting arca untuk mengetahui asal dan umur megalithikum di daerah tersebut. Benda peninggalan di Pasemah sangat beragam, diantaranya arca Batu Gajah yang terdapat nekara, benda dari perunggu dan besi dan kubur yang disertai manik-manik dari bahan gelas.

Di Jawa, kebudayaan megalithikum ditemukan di daerah Besuki (Jawa Timur) berupa pandhusa (dolmen tetapi berisi kubur batu). Dalam pandhusa terdapat tulang manusia, peralatan hidup: pemukul kulit kayu dari batu, manik-manik, pecahan tembikar dan alat dari logam). Daerah penemuan yang lain adalah Wonosari, Cepu, Cirebon yang berupa kubur batu menyerupai temuan di Pasemah. Selain itu juga ditemukan di Bali dan Sulawesi.

Von Heine Geldern membagi tradisi bangunan megalithikum atau kebudayaan bangunan besar menjadi dua yaitu :
1) Megalithikum Tua
Tradisi megalithikum tua berlangsung sekitar 2.500 – 1.500 SM. Tradisi ini berlangsung pada masa neolithikum. Masyarakat pendukung periode ini menggunakan bahasa Austronesia dan alat beliung batu persegi. Mereka mulai membangun batu besar bersusun yang berupa dolmen, undakan batu/ punden berundak, piramida dan pelindih. Gagasan kosmo magi mengungkapkan ciri yang lebih jelas keasliannya yaitu tembok batu, jalanan batu dan batuan untuk keperluan irigasi.

2) Megalithikum Muda
Tradisi megalithikum muda berlangsung tahun 1000 SM. Bentuk bangunannya berupa kubur peti batu, dolmen semu, sarkofagus, bejana batu.

Pada masa berikutnya, tradisi megalithikum mebcampurkan diri dengan budaya yang masuk dari luar. Sejalan dengan berkembangnya pelayaran perdagangan sejak awal abad Masehi di selat Malaka, maka berkembang pula kontak budaya dengan bangsa lain. Dalam kondisi ini terjadi akulturasi megalithikum – Hindu / Budha. Berikutnya disusul dengan masuk dan berkembangnya Islam dan masuknya budaya Eropa ke Indonesia.

Sumber :
R. Soekmono. 1986. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1. Jogjakarta : Kanisius

No comments:

Post a Comment