Sunday, August 2, 2020

Kemaharajaan VOC di Indonesia


Seperti diketahui, bangsa Belanda datang ke Indonesia pertama kali pada tahun 1596 dibawah Cornelis de Houtman dan mendarat di kesultanan Banten. Ekspedisi yang pertama ini tidak banyak membawa keuntungan materi, namun Belanda mampu membuat rute sendiri ke Indonesia. Sejak itu gelombang pelayaran perdagangan bangsa Belanda memasuki Indonesia pada masa berikutnya.
Sejak awal kedatangannya, bangsa Belanda berupaya untuk mengembangkan perdagangan secara sendiri-sendiri. Namun demikian terjadi persaingan diantara pedagang Belanda. Oleh karena itu dibentuklah kongsi dagang Belanda di Indonesia melalui VOC. Hal ini berlangsung selama kurang lebih dua abad. VOC mengembangkan perdagangan dengan hak istimewa dari pemerintah kerajaan Belanda. Hak Istimewa (Hak Octrooi) yang dimiliki VOC meliputi :
1.Melakukan monopoli perdagangan di wilayah yang terbentang Tanjung Harapan - Selat Magelhaens termasuk kepulauan Nusantara.
2.Membentuk angkatan perang sendiri.
3.Melakukan peperangan.
4.Mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat.
5.Mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri.
6.Mengangkat pegawai sendiri.
7.Memerintah di negeri jajahan.


Secara perlahan, daerah kekuasaan VOC meluas dan memindahkan pusat kegiatan ke Jayakarta yang diubah namanya menjadi Batavia. Mengapa demikian ?
Dibawah gubernur jendral JP. Coen, VOC berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan alam Indonesia dengan cara :
1.Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, misal rempah-rempah di Maluku.
2.Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi pertanian.
3.VOC sementara ukup menduduki tempat yang strategis.
4.VOC melakukan campur tangan terhadap kerajaan di nssantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli.
5.Lembaga pemerintahan tradisional/ kerajan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/ dapat diperalat.
 
Daerah kekuasaan VOC yang sedemikian luas, ternyata tidak mampu dikelola dengan baik. Bahkan dalam perkembangannya banyak terjadi korupsi di kalangan pejabat VOC. Memasuki abad XIX, VOC dibubarkan dan dilanjutkan oleh pemerintah kerajaan Belanda.Sejak dibawah kekuasaan kerajaan Belanda, terjadi perubahan yang sangat besar hingga awal abad XX. Kebijakan kolonial Belanda secara umum dapat dibedakan atas dua masa yaitu selama abad 19 dan awal abad 20.

Kekuasaan VOC yang semula berkembang pesat, pada akhirnya mengalami kemunduran bahkan keruntuhan pada akhir abad XVIII. Memasuki abad 19 kekuasaan, aset dan segala hutang VOC diambilalih pemerintah kerajaan. Dalam abad 19, kolonial Belanda masih menerapkan kebijakan yang berkaitan langsung di bidang ekonomi perdagangan.

Sistem kolonial konservatif
Pada awal abad XIX, pemerintah kolonial Belanda melanjutkan politik tradisional kompeni dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari upeti dan keuntungan perdagangan kerajaan. Muncul pertanyaan, mengapa Belanda menjalankan politik tradisional? Ternyata pada awal abad XIX, pemerintah Belanda kondisinya lemah (ingat setelah berlangsungnya perang Eropa, sebagai dampak dari revolusi Perancis 1789). Ekonomi lemah, kas negara minim, industri belum berkembang. Hal ini memaksa Belanda menjalankan sistem pemerintahan tidak langsung. Yaitu kepala-kepala pribumi diserahi tugas mengurusi masalah penduduk dan pegawai kompeni (berubah menjadi pegawai kolonial) bertugas mengadakan pengawasan terhadap hasil tanam paksa untuk pasaran Eropa.

Birokrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ditandai dengan dibentuknya jabatan gubernur jendral dimulai dari Daendels. Daendels mengadakan perubahan di bidang administrasi pemerintahan. Para kepala daerah/ penguasa pribumi dikurangi kekuasaan dan simbol kebesarannya. Juga dilakukan penanaman wajib tanaman kopi, pembuatan jalan Daendels (Anyer-Panarukan). Kebijakan penyerahan wajib dan pekerjaan wajib tetap diteruskan, khususnya dalam pembuatan jalan dan penanaman kopi.

Peraturan Daendels lebih menekankan perhatian dan pengawasan Belanda di daerah pedalaman. Pemerintahan secara sentralistis ini jelas mengakibatkan pengaruh Eropa/ Belanda menjadi makin kuat. Sebaliknya kedudukan penguasa pribumi makin lemah.
 
Sistem Sewa Tanah
Terjadinya perang Belanda – Inggris yang berakhir dengan kemenangan Inggris membawa pengaruh besar bagi wilayah Indonesia. Kolonialisme Inggris di Indonesia dilakukan langsung dari India dan menempatkan wakilnya (Raffles) di Batavia. Inggris melaksanakan kebijakan sistem sewa tanah. Sistem sewa tanah didasari kebijakan Inggris dibawah Raffles yang ingin menghapuskan penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang dibebankan kepada penduduk. Di samping itu juga ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha (petani).
Upaya menegakkan kebijakan kolonial Inggris didasarkan pada tiga asas :
1. Penyerahan wajib dan pekerjaan rodi dihapuskan, rakyat diberi kebebasan menanam tanamannya.
2. Peranan bupati sebagai pemungut pajak dihapus.
3. Adanya anggapan pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, petani dianggap penyewa (tenant), petani harus membayar sewa tanah (land rent) atau pajak.

Dengan demikian sistem sewa tanah dapat dianalisis sebagai perubahan ekonomi dan perubahan sosial budaya. Kehidupan sosial budaya masyarakat Barat, akan menggantikan ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum dikenal.

Praktik pelaksanaan sistem sewa tanah dari Raffles dapat ditinjau dari tiga hal yaitu:

Penyelenggaraan sistem pemerintahan secara modern
Pola pemerintahan tradisional yang dihadapi Raffles, diubah ke bentuk penyelenggaran birokrasi modern (Eropa). Sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) diganti sistem pemerintahan langsung (direct rule). Kekuasaan tradisional dikurangi dan  sumber penghasilannya dihilangkan. Fungsi pemerintahan kalangan birokrasi pribumi diganti oleh pegawai Eropa. Asisten residen diangkat untuk mengawasi dan mendampingi bupati/ penguasa pribumi. Penguasa pribumi diberi gaji atas jasa dalam pemerintahan kolonial. Namun demikian kebiasaan tradisional tidak dapat langsung hilang.

Pelaksanaan pemungutan sewa tanah
Dari kebijakan sistem sewa tanah, Raflles berkeinginan rakyat agar dapat menikmati kepastian hukum, penetapan pajak secara perorangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya banyak mengalami kesulitan. Penyebabnya adalah tidak tersedianya bahan keterangan untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar setiap orang. Penetapan pajak kadang dilakukan tidak tepat, sehingga memperberat beban pajak rakyat. Alat ukur untuk menentukan besaran pajak yang harus dibayarkan petani tidak baku, sehingga sulit melaksanakan di dalam masyarakat.

Penanaman tanaman ekspor
Kebijakan kolonial untuk mengembangkan tanaman ekspor diteruskan penguasa Inggris. Namun, secara umum pelaksanaannya mengalami kegagalan. Penanaman kopi dan gula banyak kemunduran, karena kurangnya pengalaman petani dalam menjual hasil tanamannya dan kurangnya pengetahuan dalam menanam.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1) Usaha untuk mengesampingkan para bupati dan kepala desa tidak berhasil.
2) Pengaruh politik dan sosial sampai batas tertentu meresap lebih dalam masyarakat Jawa.
3) Untuk meningkatkan kemakmuran penduduk desa dengan merangsang produksi tanaman ekspor mengalami kegagalan.

 
Sistem Tanam Paksa
Kekuasaan Inggris di Indonesia, tidak berlangsung lama. Keadaan setelah revolusi Perancis (Napoleon Bonaparte) ada upaya mengembalikan keadaan status quo. Sebagai konskuensinya, wilayah Indonesia oleh Inggris dikembalikan kepada Belanda. Setelah wilayah Indonesia dikembalikan kepada Belanda, maka Belanda menghadapi keadaan negerinya yang jauh berbeda. Kondisi paska perang koalisi di Eropa memunculkan banyak negara di Eropa mengalami kerusakan dan kehancuran ekonomi, sosial dan politik.Kas kerajaan Belanda yang menipis dan terjadinya serangkaian perlawanan daerah menyebabkan banyak finansial mereka terkuras. Kondisi ini ditambah dengan timbulnya pemberontakan Belgia dan perlawanan Diponegoro dan perlawanan Padri. Oleh karena itu timbul upaya mencari pendapatan dengan jumlah banyak dan dalam waktu singkat. Sistem yang dikemukakan gubernur van den Bosch, sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada hakekatnya merupakan upaya pemulihan kembali sistem eksploitasi berupa penyerahan wajib yang pernah dilakukan VOC.

Dalam sistem tanah paksa mengharuskan rakyat jajahan untuk membayar pajak dalam bentuk barang (pajak in natura). Dengan demikian Belanda menerapkan kembali kebijakan masa VOC dengan beberapa penyempurnaan. Hal ini diharapkan akan meningkatkan tanaman dagang yang dapat dikirim ke Nederland untuk dipasarkan.

Ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa:
a) Persetujuan akan diadakan dengan penduduk untuk menyediakan sebagian tanah yang akan ditanami dengan tanaman ekspor.
b) Tanah yang disediakan untuk keperluan ini tidak boleh lebih dari seperlima tanah miliknya.
c) Pekerjaan menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan dalam menanam padi.
d) Tanah yang disediakan untuk tanaman dagangan dibebaskan dari pajak.
e) Jika nilai tanaman dagang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar, selisih positifnya diserahkan kepada rakyat.
f) Panen tanaman dagang yang gagal tidak dibebankan kepada rakyat, jika tidak disebabkan kemalasan rakyat.
g) Penduduk desa mengerjakan tanah dibawah pengawasan kepala desa.

Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa diterapkan setelah timbulnya perlawanan beberapa daerah di Indonesia, Dalam pelaksanaannya, ketentuan tersebut sering jauh menyimpang. Untuk mempelajari lebih lanjut dapat dilihat pada Sartono K. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1. Pelaksanaan yang menyimpang tersebut, misal:
a) Persetujuan dengan rakyat didasarkan atas unsur paksaan.
b) Pegawai pemerintah kolonial cenderung memperlakukan desa dengan tenaga dan tanahnya secara keseluruhan.
c) Tanah yang disediakan sering melebihi ketentuan.
d) Petani dipaksa bekerja lebih lama daripada mengurusi tanaman sendiri.
e) Tanah yang dipakai bebas pajak, namun petani menanggung 2 beban yaitu menanam tanaman ekspor dan membayar pajak tanah.
f) Penyerahan selisih positif tidak dilakukan, dimana kelemahannya pada “nilai yang ditafsir”.
g) Kerugian yang dialami ditanggung rakyat.

Jenis tanaman yang dikembangkan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa adalah: kopi, gula dan nila (indigo), juga teh, tembakau, kayu manis dan kapas.

Akibat pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
a) Produksi ekspor meningkat pesat, terutama kopi, gula dan nila.
b) Produksi padi mengalami penurunan drastis.
c) Muncul penderitaan dan kelaparan penduduk, misal Demak dan Purwodadi.
d) Pemerintah kolonial mengalami saldo untung (batig slot) dari penerimaan yang tinggi, dan penghematan pengeluaran.
e) Pemerintah kolonial berhubungan langsung dengan kepala desa. Hal ini berakibat timbul disintegrasi struktur sosial karena makin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang sebelumnya tidak dikenal.

Sistem kolonial liberal (1870-1900)
Pada pertengahan abad XIX, berlangsung pemilu di negeri Belanda yang dimenangkan golongan liberal. Hal ini membawa pengaruh besar dalam kebijakan kolonial. Kaum liberal ingin menerapkan gagasannya di negeri Belanda dan daerah jajahan. Mereka mendorong upaya kaum swasta ikut mengembangkan usaha di Belanda dan jajahan. Usaha dan modal swasta Belanda diberi kesempatan untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya UU Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870, yang memiliki fungsi untuk :
1. Melindungi petani Indonesia terhadap hak miliknya kepada orang asing.
2. Membuka peluang kepada orang asing untuk menyewa tanah dari rakyat .

Dengan adanya UU Agraria tersebut membawa pengaruh ekonomi uang makin besar dalam masyarakat, dimana dapat menyewakan tanah dan menjadi buruh perkebunan. Pola konsumtif dikembangkan kolonial dengan memasok hasil industri ke Indonesia. Impor barang jadi meningkat, sehingga mendesak perkembangan kerajinan rakyat Indonesia.

Kalangan swasta Belanda mulai memasuki kembali ke daerah jajahan. Swasta Belanda yang diikuti berikutnya, swasta Eropa lainnya membuka perkebunan besar di Jawa dan Sumatra untuk ditanami kopi, tebu, teh, karet, tembakau, kina dan sebagainya. Banyak penduduk setempat dikirim untuk bekerja di daerah perkebunan, bahkan ada penduduk Jawa yang dikirim ke Guyana Belanda. Keturunan Jawa ini berkembang hingga sekarang di negara Suriname. Hal ini membawa keuntungan besar bagi pengusaha swasta barat. Sebaliknya nasib rakyat Indonesia tetap menderita.

Kehidupan masyarakat Indonesia yang makin menurun kesejahteraannya ini, mendorong munculnya  kritik tajam dan lahirlah Politik Etis  dengan Trilogi Van Deventer. Politik Balas Budi atau Politik Etis dilakukan sebagai usaha untuk sedikit memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang baru bisa dilakukan peralihan abad 19 dan abad 20. Kalangan orang Belanda memiliki anggapan bahwa negeri Belanda memiliki hutang kehormatan kepada rakyat Indonesia. Mereka perlu memberikan balas jasa bagi rakyat Indonesia. Tanah jajahan perlu perbaikan dalam bidang pertanian, edukasi dan pemindahan penduduk dari daerah yang padat.
Pada masa liberal ini berkembang agama Kristen (dan Katholik) terutama di wilayah Indonesia timur dan Sumatra utara.

2 comments: