Kemunduran dan runtuhnya kerajaan bercorak Hindu Budha bukan berarti tradisinya juga lenyap. Tradisi Hindu Buddha masih berlangsung sesuai dengan perkembagan jaman. Bahkan di daerah yang mendapat pengaruh Islam, tradisi ini tidak begitu saja hilang.
Mundur dan runtuhnya kerajaan bercorak Hindu Buddha di Indonesia mempengaruhi perkembangan atau keberlanjutan tradisi setempat. Di Jawa Barat, dengan berdirinya kesultanan Banten sedikit banyak mempengaruhi kerajaan Pajajaran. Masyarakat pendukung kerajaan yang menolak pengaruh budaya dan agama baru menyingkir ke pedalaman. Masyarakat yang bersedia menerima pengaruh baru perlahan-lahan beralih menjadi muslim. Adapun masyarakat yang menyingkir ke pedalaman di Banten Selatan, membentuk komunitas masyarakat Baduy. Kepercayaan yang dikembangnya disebut Pasundan Kawitan (Pasundan yang pertama). Tradisi yang lama dipertahankan dan menolak pengaruh luar yang baru.
Runtuhnya Majapahit membawa pengaruh serupa. Masyarakat yang menerima agama baru beralih menjadi muslim dan masuk wilayah kerajaan Islam. Hal ini berlangsung terutama di sepanjang pesisir utara Jawa. Adapun masyarakat yang menolak, sebagian menyingkir ke puncak Bromo dan membentuk masyarakat Tengger. Sebagian yang lain menuju ke Barat dan singgah di gunung Lawu dan mendirikan candi Sukuh dan Cetha. Sebagian yang lain menyingkir ke timur dan masuk Bali. Mereka membawa serta karya sastra Hindu Buddha ke Bali. Sehingga tradisi Hindu (dan Buddha) tetap berkembang pesat di Bali. Beberapa karya sastra tersebut bahkan dikeramatkan dan disimpan di pura. Perkembangan demikian berlangsung terus hingga sekarang di Bali. Tradisi Hindu Buddha dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi daerah Bali. Bali menjadi museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia. Agama Hindu di Bali disebut agama Hindu Dharma yang merupakan sinkretisme kepercayaan animisme dengan Hindu dan Budha. Roh nenek moyang dipuja oleh anak cucu setelah jenasah dibakar (Ngaben). Tempat pemujaan dilakukan di Pura. Dewa dalam agama Hindu diwujudkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widhi.
Tradisi Kasadha berkembang dalam masyarakat Tengger di puncak gunung Bromo dan berlangsung setiap tahun pada bulan purnama penuh / hari ke 14 bulan Kasada menurut kalender Tengger. Upacara ini merupakan perpaduan agama, kepercayaan dan adat istiadat; meliputi persembahan hewan kurban (ternak, hasil bumi) yang dilepaskan ke mulut kawah. Prosesi upacara dimulai sejak sore hari di lautan pasir Bromo, dan ditampilkan berbagai kesenian tradisional. Pada pemuka masyarakat memberi restu kepada orang Tengger yang akan berkorban dengan sesaji, kembang dan dupa. Suasana berlangsung hingga larut malam. Menjelang dini hari, dilakukan upacara keagamaan. Ketika fajar para pembawa korban naik puncak gunung dan melemparkan korban ke kawah. Di jurang yang terjal, penduduk telah bersiap untuk memperebutkan korban.
Perkembangan tradisi Hindu Buddha di beberapa daerah di luar Jawa sangat berlainan. Di Sumatra, setelah runtuhnya Sriwijaya, tidak ada kerajaan lokal yang melanjutkan dam mengembangkan kebudayaan Hindu Buddha. Bahkan sejak awal abad VII Masehi, daerah Sumatra mulai masuk agama dan budaya Islam (lihat dalam materi berikutnya). Tradisi Hindu Buddha seolah terhenti dan digantikan oleh agama dan budaya Islam. Di Kalimantan, perkembangannya tidak begitu jelas. Di Sulawesi, Maluku dan Indonesia Timur telah ada beberapa kerajaan yang bercorak asli, dimana tidak dijumpai pengaruh Hindu Buddha di wilayah tersebut. Adapun keberlanjutan tradisi Hindu Buddha di Jawa, sejalan dengan masuk dan berkembangnya Islam mengalami proses akulturasi (lokal – Hindu Buddha – Islam).
No comments:
Post a Comment