Mempelajari masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) semakin lama semakin menambah rasa keingintahuan kita. Suatu masa yang cukup singkat, namun banyak berpengaruh terhadap keberlanjutan bangsa Indonesia di masa berikutnya.
Pada awal masa pendudukan, untuk sementara Jepang mempertahankan organisasi pemerintahan apa adanya. Aparat pemerintahan dipertahankan, kecuali pimpinannya harus orang Jepang. Orang Belanda dibiarkan memegang jabatan asal tidak menyangkut urusan politik militer. Hal ini berlangsung untuk sementara, dimana setelah Jepang memiliki pengetahuan dan pegawai yang cukup, maka orang Belanda dimasukkan kamp interniran. Orang Cina tidak ditangkap karena memiliki perusahaan besar. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan dan bendera Merah Putih boleh dikibarkan.
Sejak bulan Maret 1942, pendudukan Jepang mengeluarkan larangan kegiatan pembicaraan, pergerakan tentang negara. Pada bulan April 1942, dilakukan pembukaan kembali sekolah dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah sebagai pengantar. Disamping itu untuk menghilangkan pengaruh Belanda/ Eropa diupayakan mengubah nama daerah dengan istilah Belanda menjadi berbahasa Indonesia (Batavia menjadi Jakarta; Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Buitenzorg menjadi Bogor).
Pada bulan Juni 1942, dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap Belanda dan Eropa lainnya. Karena kekosongan jabatan di berbagai lembaga pemerintahan membuka peluang bagi orang Indones ia. Kesempatan berpolitik dan belajar dalam birokrasi pemerintahan terbuka lebar. Para tokoh terpelajar dan pergerakan banyak yang ditarik masuk dalam birokrasi. Organisasi pemerintahan disusun secara vertikal: Syuu (karesidenan), Ken (kabupaten) atau Si (kotapraja), Gun (kawedanan), Sun (asistenan), Ku (desa), Aza (dukuh) dan Gumi (RT). Dalam pelaksanaannya, ada tiga orang Indonesia menjadi residen (Syuutyookan) yaitu Sutarjo (Jakarta), RP. Suroso (Kedu) dan Suryo (Bojonegoro). Hal ini sangat langka jika dibandingkan dengan jaman kolonial Belanda. Wilayah kerajaan tetap dipertahankan dan disebut kooti dengan kepalanya koo. Mengapa wilayah kerajaan tetap dipertahankan ?
Golongan pemuda mendapatkan perhatian besar dari pendudukan Jepang. Jepang berusaha memobilisasi pemuda dalam berbagai badan atau lembaga yang mendapat latihan militer atau semi militer. Kaum nasionalis sekuler dan nasionalis agama (Islam) mendapat kesempatan menduduki jabatan dalam birokrasi. Pelajaran agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kaum nasionalis sekuler diberi perhatian dengan maksud untuk menarik simpati rakyat. Kesempatan kerja terbuka luas bagi setiap orang, sehingga memungkinkan terjadi mobilitas sosial vertikal. Lapisan kaum terpelajar naik, sedangkan lapisan bangsawan merosot.
Kesempatan berpolitik terbuka dengan mulai dibentuknya berbagai organisasi bentukan Jepang, misal Gerakan Tiga A, Putera, Jawa Hokokai. Hal ini sejalan dengan kondisi perang yang dihadapi Jepang. Kondisi perang yang sudah tidak menguntungkan bagi Jepang mendorong upaya untuk menarik simpati bangsa Indonesia. Kesempatan berpolitik dengan sendirinya akan lebih besar lagi dengan dibentuknya BPUPKI sebagai badan penyelidik untuk mengumpulkan bahan bagi persiapan kemerdekaan Indonesia. Disusul kemudian PPKI yang dibentuk menjelang berakhirnya Perang Dunia II dengan hasil tercapainya kemerdekaan Indonesia. Terhadap kesempatan tersebut, kalangan pergerakan memiliki beberapa pandangan. Kegiatan berpolitik bangsa Indonesia dibedakan atas:
1. berpolitik secara terbuka melalui kebijakan pendudukan Jepang yang ditandai dengan kerjasama menduduki jabatan birokrasi.
2. berpolitik secara diam-diam (gerakan bawah tanah) yang ditandai dengan gerakan rahasia di berbagai daerah, misal kelompok Sukarni, Ahmad Subarjo, Sutan Syahrir dan kelompok pemuda.
G. Moedjanto. Indonesia Dalam Abad 20 Jilid 1. Jogjakarta : UGM.
No comments:
Post a Comment