Kolonialisme pada dasarnya bergerak dalam tiga bidang, yaitu ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dalam ketiga aspek tersebut. Kepribadian penduduk pribumi akan dihancurkan.
Adapun pelaksanaan/ praktik kolonialisme sedikit banyak tergantung pada kondisi negara penjajah. Berdasarkan perbedaan mengenai kekayaan alam atau kemajuan teknologi dan sistem produksi barang yang merupakan faktor obyektif dari negara penjajah dapat digolongkan atas empat bagian :
1.Penjajah yang kaya dan royal
Tipe ini dapat diartikan tanah air penjajah kaya akan barang tambang dan industrinya telah maju, sehingga tidak begitu banyak menghisap kekayaan atau tenaga dari bangsa yang dijajahnya. Bangsa yang dijajah diberi bantuan pendidikan sehingga merasa berhutang budi kepada negara penjajah. Sebagai contoh USA di Philipina hingga 1946.
2.Penjajah yang semi kaya
Tipe ini merupakan penjajah yang tanah airnya meskipun tidak banyak mengandung bahan tambang tertentu, persediaan yang ada sudah dapat digunakan sebagai landasan bagi kemajuan industri. Negara ini memerlukan pasaran bagi tempat menjual hasil industrinya. Untuk meningkatkan daya beli rakyat jajahan, maka diselenggarakan peningkatan taraf pendidikan di daerah jajahan. Penjajah sedikit banyak masih membutuhkan beberapa koloditas dari negeri jajahannya, misal Inggris di India.
3.Penjajah yang miskin
Tipe ini merupakan negara penjajah dimana industrinya telah maju, tetapi tanah airnya tidak banyak menghasilkan bahan baku bagi industrinya. Bahan baku didatangkan dari luar negeri, terutama dari daerah jajahan. Mereka secara inteksif mengeksploitasi daerah jajahan untuk penyediaan bahan baku bagi industrinya, misal : Belanda di Indonesia.
4. Penjajah yang sangat miskin
Tipe ini merupakan penjajah yang negerinya tergolong miskin akan bahan tambang dan tanahnya tidak subur, sehingga keperluan rakyat didatangkan dari luar negeri. Penjajah ini sangat menekan dan menghisap negeri dan penduduk yang dijajah (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985).
Dengan demikian dapat dimaklumi bila corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan penjajah terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Dalam praktiknya, kolonialisme diantara negara penjajah memiliki perkembangan yang berlainan.
Meskipun demikian, ada persamaan, dimana pada awal kedatangannya, para kolonis yang datang pertama di daerah Asia dan daerah lainnya mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Perdagangan tersebut membawa keuntungan yang besar, sehingga menarik bangsa Eropa yang lain untuk ikut berdagang.
Setelah mengetahui potensi yang ada, maka timbul niat kolonis untuk menguasai daerah penghasil bahan dagangan. Hal ini menimbulkan persaingan diantara bangsa Eropa. Masing-masing membentuk kongsi dagang guna menghadapi kekuatan dagang bangsa lain.
Para kolonis berlomba dan bersaing dalam mencari dan menguasai daerah yang potensial. Mereka mulai mendesak pedagang pribumi. Meskipun demikian, usaha ini baru dapat dilakukan secara bertahap. Posisi pedagang pribumi secara lambar dan pasti mulai bergeser dan peranan mereka menurun. Pedagang pribumi memang berjumlah besar/ banyak, namun mereka tidak terorganisir.
Setelah pedagang pribumi terdesak, maka kolonis Eropa mulai menaklukkan para raja dan sultan yang berkuasa pada saat itu. Maka dimulailah fase baru, yaitu campur tangan dalam masalah intern suatu kerajaan.
Lambat laun dengan kekuasaan politik yang diperoleh, usaha kolonis untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangannya lebih teratur dan terencana. Dengan demikian, eksploitasi ekonomi dimulai dan lapisan masyarakat ini diinfiltrasi dengan nilai-nilai kebudayaan Eropa.
Nampak sekali penerapan nilai kebudayaan baru dimaksudkan untuk menjadikan lapisan atas sebagai alat yang dapat digunakan untuk mengurusi dan emnguasai penduduk pribumi. Lapisan atas dari penduduk pribumi berfungsi sebagai alat administrasi kolonial belaka.
Sumber :
Roeslan Abdulgani.t.th.Nasionalisme Asia Sebagai faktor kekuatan Dalam Percaturan Internasional. Jakarta :
Suhartoyo Hardjosatoto.1985.Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Jogjakarta : Liberty
Adapun pelaksanaan/ praktik kolonialisme sedikit banyak tergantung pada kondisi negara penjajah. Berdasarkan perbedaan mengenai kekayaan alam atau kemajuan teknologi dan sistem produksi barang yang merupakan faktor obyektif dari negara penjajah dapat digolongkan atas empat bagian :
1.Penjajah yang kaya dan royal
Tipe ini dapat diartikan tanah air penjajah kaya akan barang tambang dan industrinya telah maju, sehingga tidak begitu banyak menghisap kekayaan atau tenaga dari bangsa yang dijajahnya. Bangsa yang dijajah diberi bantuan pendidikan sehingga merasa berhutang budi kepada negara penjajah. Sebagai contoh USA di Philipina hingga 1946.
2.Penjajah yang semi kaya
Tipe ini merupakan penjajah yang tanah airnya meskipun tidak banyak mengandung bahan tambang tertentu, persediaan yang ada sudah dapat digunakan sebagai landasan bagi kemajuan industri. Negara ini memerlukan pasaran bagi tempat menjual hasil industrinya. Untuk meningkatkan daya beli rakyat jajahan, maka diselenggarakan peningkatan taraf pendidikan di daerah jajahan. Penjajah sedikit banyak masih membutuhkan beberapa koloditas dari negeri jajahannya, misal Inggris di India.
3.Penjajah yang miskin
Tipe ini merupakan negara penjajah dimana industrinya telah maju, tetapi tanah airnya tidak banyak menghasilkan bahan baku bagi industrinya. Bahan baku didatangkan dari luar negeri, terutama dari daerah jajahan. Mereka secara inteksif mengeksploitasi daerah jajahan untuk penyediaan bahan baku bagi industrinya, misal : Belanda di Indonesia.
4. Penjajah yang sangat miskin
Tipe ini merupakan penjajah yang negerinya tergolong miskin akan bahan tambang dan tanahnya tidak subur, sehingga keperluan rakyat didatangkan dari luar negeri. Penjajah ini sangat menekan dan menghisap negeri dan penduduk yang dijajah (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985).
Dengan demikian dapat dimaklumi bila corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan penjajah terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Dalam praktiknya, kolonialisme diantara negara penjajah memiliki perkembangan yang berlainan.
Meskipun demikian, ada persamaan, dimana pada awal kedatangannya, para kolonis yang datang pertama di daerah Asia dan daerah lainnya mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Perdagangan tersebut membawa keuntungan yang besar, sehingga menarik bangsa Eropa yang lain untuk ikut berdagang.
Setelah mengetahui potensi yang ada, maka timbul niat kolonis untuk menguasai daerah penghasil bahan dagangan. Hal ini menimbulkan persaingan diantara bangsa Eropa. Masing-masing membentuk kongsi dagang guna menghadapi kekuatan dagang bangsa lain.
Para kolonis berlomba dan bersaing dalam mencari dan menguasai daerah yang potensial. Mereka mulai mendesak pedagang pribumi. Meskipun demikian, usaha ini baru dapat dilakukan secara bertahap. Posisi pedagang pribumi secara lambar dan pasti mulai bergeser dan peranan mereka menurun. Pedagang pribumi memang berjumlah besar/ banyak, namun mereka tidak terorganisir.
Setelah pedagang pribumi terdesak, maka kolonis Eropa mulai menaklukkan para raja dan sultan yang berkuasa pada saat itu. Maka dimulailah fase baru, yaitu campur tangan dalam masalah intern suatu kerajaan.
Lambat laun dengan kekuasaan politik yang diperoleh, usaha kolonis untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangannya lebih teratur dan terencana. Dengan demikian, eksploitasi ekonomi dimulai dan lapisan masyarakat ini diinfiltrasi dengan nilai-nilai kebudayaan Eropa.
Nampak sekali penerapan nilai kebudayaan baru dimaksudkan untuk menjadikan lapisan atas sebagai alat yang dapat digunakan untuk mengurusi dan emnguasai penduduk pribumi. Lapisan atas dari penduduk pribumi berfungsi sebagai alat administrasi kolonial belaka.
Sumber :
Roeslan Abdulgani.t.th.Nasionalisme Asia Sebagai faktor kekuatan Dalam Percaturan Internasional. Jakarta :
Suhartoyo Hardjosatoto.1985.Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Jogjakarta : Liberty
No comments:
Post a Comment