Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan periode yang sangat penting, utamanya meninggalkan catatan yang negatif. Dalam kesempatan ini, saya mencoba membuat deskripsi mengenai mobilisasi rakyat dan dampak yang ditimbulkan.
Seperti diketahui, pendudukan Jepang atas Indonesia (1942-1945) didasarkan pada dua prioritas : menghapuskan pengaruh bangsa barat dan memobilisasi rakyat untuk membantu Jepang menghadapi Jepang Asia Timur Raya. Sebagai realisasi prioritas tersebut maka dilakukan upaya berikut :
1. Pengerahan ekonomi
Asia Tenggara, khususnya Indonesia memegang peran penting bagi pendudukan Jepang untuk menopang kebutuhan industri dan keperluan perang. Dari Indonesia diperlukan minyak dan karet. Indonesia dijadikan home front (daerah belakang) dengan fungsi mencukupi keperluan perang Jepang. Dengan slogan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, Jepang berusaha mengeksploitasi sosial ekonomi Indonesia demi kemenangan perang.
Wilayah Indonesia dibagi atas tiga daerah ekonomi. Jawa dibagi atas 17 lingkungan daerah ekonomi. Setiap daerah diharuskan dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan menopang kebutuhan perang Jepang (sistem autarchi). Melalui organisasi Tonarigumi dan Nogyo Kumiai dilakukan kampanye pengerahan barang dan pangan. Pengerahan dan eksploitasi sumber alam, penebangan hutan dan penyerahan hasil bumi menimbulkan dampak luas bagi rakyat Indonesia. Perdagangan antar daerah dilarang pemerintah pendudukan. Pengendalian harga barang dilakukan dengan ketat. Penduduk yang tertangkap melanggar ketentuan akan diproses oleh Kempetai (polisi militer Jepang).
Perusahaan vital misal pertambangan, listrik, telekomunikasi dan pengangkutan langsung dikuasai pemerintah pendudukan. Semua usaha ditujukan untuk keperluan perang. Kebutuhan pokok rakyat umumnya dijatah. Beras diberikan dengan kualitas sangat rendah. Perkebunan teh, kopi dan tembakau diawasi dan dimonopoli Jepang. Perkebunan kina, tebu dan karet mendapat perhatian khusus.
Hasil panen rakyat yang berupa padi, disetorkan dengan ketentuan sangat ketat. 40 % dimiliki petani, 30 % diserahkan kepada pemerintah melalui kumiai, dan 30 % disetorkan ke lumbung desa untuk bibit. Dalam praktiknya jumlah yang disetorkan melebihi ketentuan. Hal ini mengingatkan pada praktik sistem tanam paksa.
2. Pengerahan Sosial
Dalam rangka mendukung program perang Asia Timur Raya, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan mobilisasi. Pada bulan Oktober 1943, dilaksanakan pengerahan tenaga kerja (romusha). Tugasnya membangun fasilitas pangkalan dan obyek militer bagi Jepang. Pengiriman romusha ke berbagai daerah hingga Myanmar dan Thailand. Jumlahnya meliputi 200.000 hingga 500.000 orang dan pada akhir perang ditemukan 70.000 orang. Mengenai jumlah tenaga kerja yang meninggal tidak diketahui secara pasti.
Pengerahan sosial tampak dari adanya kinrohoshi (kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa) untuk mengerjakan kepentingan umum. Untuk pelaksanaan kinrohoshi, digunakan lembaga Tonarigumi, guna pengerahan dan pengawasan rakyat.
Sebagai alat pembayaran yang sah, pemerintah pendudukan mengeluarkan mata uang kertas. Uang kertas yang diedarkan memiliki kualitas yang rendah. Satuan yang digunakan sama dengan jaman Belanda yaitu satu sen sampai sepuluh rupiah.
Aspek budaya dan sastra juga dimanfaatkan pemerintah pendudukan. Pendidikan dikembangkan untuk keperluan perang Asia Timur Raya. Anak sekolah dilatih olah raga perang yaitu Kinrohoshi. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap mata pelajaran utama. Sedangkan bahasa Jepang sebagai mata pelajaran wajib. Nama kota dan jalan diganti nama Indonesia atas seijin pendudukan Jepang. Batavia diganti Jakarta, Meester Cornelis diganti Jatinegara, Buitenzorg diganti Bogor. Kaum pegawai pemerintah di seluruh jawatan dilatih dengan semangat Jepang (Nippon Seisin). Tunjangan istimewa diberikan bagi mereka yang dapat menunjukkan kecakapan berbahasa Jepang.
Atas desakan tokoh Indonesia, dibentuklah Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia. Komisi ini bertugas menentukan terminologi dalam bahasa Indonesia. Badan ini diketuai Mori, Teiki, Mr. R. Suwandi, STA, Abas St. Pamuntjak, Amir Syarifudin dan Armyn Pane.
Dalam bidang sastra, lagu, lukisan, seni pertunjukan dan film berkembang cukup pesat. Agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka dibentuk Pusat Kebudayaan Nasional (Keimin Bunka Shidosho) tanggal 1 April 1943. Perkembangan sastra, seni dan pers dikontrol ketat pemerintah pendudukan. Sehingga terkenal badan Kempeitai (Polisi Militer Jepang) yang sejajar dengan Gestapo Nazi Jerman.
Dalam aspek keagamaan (Islam), pemerintah pendudukan Jepang berusaha mengawasi dan menarik simpati secara hati-hati. Namun demikian berbagai usaha yang dilakukan tidak mampu menarik perhatian kalangan Islam.
3. Dampak kebijakan pendudukan Jepang
Adanya pemerasan yang dilakukan pendudukan Jepang terhadap rakyat, menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan. Persediaan sandang menipis, sehingga rakyat mengenakan kain goni. Akibat kewajiban setor panen padi, rakyat kekurangan makanan. Kesehatan rakayat makin menurun, dimana sarana kesehatan makin langka, biaya perawatan makin sedikit disediakan, obat-obatan juga makin langka. Kondisi demikian berakibat penyakit mudah menyebar. Data statistik membuktikan bahwa di Wonosobo, angka kematian mencapai 53,7 %, sedangkan di Purworejo mencapai 24,7 %.
Berbagai kebijakan yang menimbulkan kerugian dan penderitaan rakyat tersebut berakibat timbulnya perlawanan di berbagai daerah. Di Cot Plieng, Aceh, Tengku Abdul Jalil mengadakan perlawanan terhadap Jepang (10 Nopember 1942). Di Sukamanah (Jawa Barat), KH. Zainal Mustofa memimpin perlawanan rakyat terhadap Jepang. Adapun penyebabnya adalah peraturan Seikerei yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam dan penderitaan rakyat yang makin meningkat. Perlawanan berlangsung juga tidak seimbang (25 Pebruari 1944). Zainal Mustofa ditangkap dan dihukum mati oleh pendudukan Jepang.
Di Indramayu (Jawa Barat), terjadi perlawanan rakyat yang disebabkan penderitaan rakyat akibat setoran padi dan romusha. Perlawanan dapat dipadamkan oleh Jepang (April 1944). Teuku Hamid, perwira Giyugun memimpin perlawanan rakyat dengan membawa serta satu peleton anak buahnya masuk hutan. Karena diancam keluarganya akan dibunuh, maka mereka menyerah (Nopember 1944). Kesatuan Peta di Blitar mengadakan perlawanan terhadap Jepang (14 Pebruari 1945) yang dipimpin Supriyadi, Muradi, Suparyono, Sunanto, Sudarno, Halil dan dr. Ismangil. Mereka keluar asrama dan masuk hutan mengadakan perlawanan. Perlawanan dapat dipadamkan dimana para pemimpinnya dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman yang berat. Adapun tokoh Supriyadi dapat meloloskan diri dan keberadaannya pada masa berikutnya tidak diketahui secara jelas. Sampai saat ini masalah keberadaan Supriyadi masih menjadi bahan perdebatan para sejarawan.
Sumber :
1. Ricklefs, MC. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
2. G. Moedjanto. 1990. Indonesia Dalam Abad 20 Jilid 1. Jogjakarta: Kanisius
3. Benda, Harry J. 1985. Bulan Sabit Dan Matahari Terbit, Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya
No comments:
Post a Comment