Pengertian sejarah sebagai seni dan bukan sebagai ilmu tersendiri berlangsung hingga munculnya tokoh Herodotus, dalam arti sejarah bukan merupakan ilmu yang berdiri sendiri namun masih berada di bawah ilmu sastra. Setelah ditemukan adanya penelitian sejarah secara ilmiah maka ilmu sejarah tersaji secara sendiri. Walaupun demikian sejarah tetap tersaji sebagai suatu karya seni.
Sejarah sebagai seni dapat dikatakan sebagai cabang ilmu humaniora yang memandang pada pemeliharaan warisan budaya, yaitu pengalaman dan pikiran adat istiadat, sopan santun, agama, lembaga, tokoh-tokoh, dan sastra. Namun bila dilihat materi yang didapat sebagai sumber sejarah bersifat mental, terlepas antara satu dengan lainnya, maka diperlukan keahlian untuk mengadakan perangkaian antar fakta, data dan sumber sejarah yang didapat untuk mengungkap kisah sejarah sehingga menarik.
Penafsiran terhadap fakta, data dan sumber sejarah yang didapat untuk mengungkap kisah sejarah sehingga menarik. Penafsiran terhadap fakta, data dan sumber sejarah yang sama sangat mungkin berbeda hasilnya antara sejarawan satu dengan lainnya. Hal ini menyangkut kemampuan mengungkap peristiwa sejarah dalam bahsa yang indah, yang dapat membawa pembaca menikmati karya sejarawan dalam menyusun karya ilmiahnya dalam keadaan suka dan dapat menikmati. Sebagai kesimpulan dalam penelitian sejarah diperlukan proses dan prosedur ilmiah, namun dalam penyajiannya diperlukan kemampuan artistik, namun bukan merupakan karya seni mumi, mengingat metode keilmuan sejarah berbeda dengan keilmuan seni. Menurut pendapat A.F. Polland, sejarah adalah ilmu dan seni sebab ia memuat analisa ilmiah di materinya dan sintesa artistik pada hasilnya. Sebagai suatu gambaran pengertian sejarah sebagai seni merupakan cara membuat pembaca sejarah tertarik atas informasi masa lalu yang disajikan karena unsur keindahan yang disertakan di dalam menyajikan informasi sejarah di masa lampau sehingga akan mencapai sasaran penyampaian informasi sejarah.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Sejarah sebagai peristiwa berarti bahwa kejadian itu pernah ada dan benar-benar terjadi serta bisa dibuktikan secara ilmiah. Sedangkan sejarah sebagai Kisah, selain peristiwa itu ada, juga bisa dikisahkan atau bisa diceritakan kembali. Sejarah sebagai ilmu bahwa sejarah menggunakan metode analitis yaitu hasilnya harus dapat diverifikasi dan dapat disetujui atau ditolak oleh para ahli. Sementara sejarah sebagai seni mengandung arti bahwa dalam penyajian dari hasil penyelidikan itu disusun dalam suatu rangka tertentu sehingga dapat menarik perhatian orang dan dapat mempengaruhi sikap jiwanya.
Sejarah sebagai seni memiliki sejumlah kekurangan, diantaranya:
1) sejarah sebagai seni akan kehilangan ketepatan dan obyektivitasnya, karena seni merupakan hasil imajinasi. Ketepatan merupakan kesesuaian antara fakta dan tulisan sejarah. Obyektivitas merupakan menghindari masuknya pandangan individual dalam suatu penafsiran peristiwa sejarah. Padahal kedua unsur sangat diperlukan dalam penulisan sejarah.
2) sejarah akan terbatas bahwa hanya sejarah yang dapat digambarkan sebagai karya seni yang diakui.
Tokoh penganjur sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Menurut Travelyan menulis sebuah kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah karena memerlukan imajinasi dan seni. Dalam seni dibutuhkan intuisi, emosi, dan gaya bahasa. Sejarah dapat juga dilihat sebagai seni. Seperti halnya seni, sejarah juga membutuhkan intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Intuisi dibutuhkan sejarawan terutama yang berkaitan dengan pemahaman langsung selama penelitian. Setiap langkah yang harus dikerjakan oleh sejarawan memerlukan kepandaian dalam memutuskan apa yang harus dilakukan. Seringkali untuk memilih suatu penjelasan, bukanlah perangkat ilmu yang berjalan tetapi intuisi. Demikian halnya ketika harus menggambarkan suatu peristiwa atau berupa deskripsi, sejarawan sering tidak sanggup melanjutkan tulisannya. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya yang diperlukan adalah intuisi. Namun, meskipun mengandalkan intuisi, sejarawan harus tetap berdasarkan data yang dimilikinya.
Sejarawan juga membutuhkan imajinasi, misalnya membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi, pada suatu periode yang ditelitinya. Imajinasi yang digunakan tentunya bukanlah imajinasi liar melainkan berdasarkan keterangan atau data yang mendukung. Misalnya seorang sejarawan akan menulis priyayi awal abad ke-20. Ia harus memiliki gambaran, mungkin priyayi itu anak cucu kaum bangsawan atau raja yang turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau politis. Imajinasi seorang sejarawan juga harus jalan jika ia ingin memahami perlawanan Sultan Palembang yang berada di luar ibu kota pada abad ke-19. Sejarawan dituntut untuk dapat membayangkan sungai dan hutan yang mungkin jadi tempat baik untuk bersembunyi.
Demikian halnya dengan emosi. Dalam penulisan sejarah terdapat pula keterlibatan emosi. Di sini penulis sejarah perlu memiliki empati yang menyatukan dirinya dengan objek yang diteliti. Pada penulisan sejarah zaman Romantik yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, sejarah dianggap sebagai cabang sastra. Akibatnya, menulis sejarah disamakan dengan menulis sastra, artinya menulis sejarah harus dengan keterlibatan emosional. Orang yang membaca sejarah penaklukan Meksiko, jatuhnya Romawi, pelayaran orang Inggris ke Amerika, harus dibuat seolah-olah hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa itu. Penulisnya harus berempati, menyatukan perasaan dengan objeknya. Diharapkan sejarawan dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa itu.
Unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah gaya bahasa. Dalam penulisan sejarah, sejarawan harus menggunakan gaya bahasa yang tidak berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, tidak membosankan, komunikatif dan mudah dipahami. Khususnya dalam menghidupkan suatu kisah di masa lalu. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan menulis secara terperinci (detail).
Berbeda dengan karya sastra, dalam penulisan sejarah harus berusaha memberikan informasi yang lengkap dan jelas. Serta menghindari subjektivitas dan mengedepankan obyektivitas berdasarkan penggunaan metode penelitian yang tepat.
Namun, sejarah sebagai seni memiliki beberapa kekurangan yaitu sejarah sebagai seni akan kehilangan ketepatan dan obyektivitasnya. Alasannya, seni merupakan hasil imajinasi. Sementara ketepatan dan obyektivitas merupakan hal yang diperlukan dalam penulisan sejarah. Ketepatan berarti adanya kesesuaian antara fakta dan penulisan sejarah. Sedangkan obyektivitas berarti tidak ada pandangan yang individual. Kedua hal ini menimbulkan kepercayaan orang pada sejarawan dan memberikan kesan penguasaan sejarawan atas detail tulisan sejarah. Namun, kesan akan kedua hal itu akan hilang jika sejarah menjadi seni karena sejarah berdasarkan fakta dan seni merupakan hasil imajinasi. Sejarah yang terlalu dekat seni pun dapat dianggap telah memalsukan fakta.
No comments:
Post a Comment